"Kita merasakan sesuatu itu berarti, indah dan berharga serta bermakna setelah kita kehilangan atau jauh darinya".
Itulah yang aku alami. Aku merindukan saat - saat hidup dan tinggal di perkebunan teh. Pemandangan yang sejuk, udara yang segar, hamparan pohon - pohon teh dan pucuk - pucuknya yang menghijau. Namun itu hanyalah menjadi kenangan dan cerita saat - saat senggang.
Selama 19 tahun penuh aku tinggal di perkebunan teh, tepatnya di PTP. VIII Kebun Marjandi. Dahulunya PTP VIII merupakan Badan Usaha Milik Negara ( BUMN ) yang fokus kepada tanaman teh. Waktu berlalu, selepas menamatkan Sekolah Menengah Atas akupun melanjutkan studi di Kota Medan dan meninggalkan desa kelahiranku walau sesekali aku pulang namun tidak lama, hanya waktu libur kuliah saja, namun sering aku menghabiskan libur kuliah ke Aceh Utara karena kedua orang tuaku tinggal dan bertani di sini. Aku menghabiskan waktu libur yang panjang sesaat melaksanakan Praktek Pedesaan di kampungku dengan beberapa teman - teman sekampusku.
Pada tahun 1990-an PTP VIII merger dengan PTP V, VI, VII menjadi PTP Nusantara IV dan sejak mulai saat itu atau sekitar tahun 2000-an tanaman atau perkebunan teh dikonversi menjadi tanaman kelapa sawit. Hijaunya hamparan teh berganti dengan pohon - pohon sawit dan itu melenyapkan sebagaian besar kenangan masa kecilku dengan sahabat - sahabatku dulu di Marjandi. Kami telah terpisah dan banyak yang merantau. Hanya sebagian yang bekerja dan hidup serta membina rumah tangga di kebun itu, namun seiring konversi sawit itu, sahabat - sahabatku yang dulu tinggal di Marjandi dimutasikan ke perkebunan dan daerah lain yang masih satu management dengan PTPN IV. Perlahan - lahan kenangan itu kembali hilang dan nyaris lenyap.
Aku masih merindukan suasana hijaunya kebun teh, dimana setiap selepas pulang sekolah aku menggembalakan ternak kambingku dan setelah itu mengaji sore dengan teman - temanku. Selepas mengaji aku mencari kambing - kambingku untuk pulang ke kandang dan menyiapkan makanan untuk bebek - bebekku. Menjelang senja kami ke mesjid untuk sholat berjama'ah dan mengaji dilanjutkan dengan sholat isya baru kami pulang ke rumah masing - masing. Tak banyak yang memiliki televisi, dan penerangan yang mengandalkan listrik diesel yang akan mati pada pukul 6 ( enam ) pagi.
Rindu suasana perkebunan teh mengajak kami untuk jalan - jalan ke perkebunan teh yang tersisa. Menikmati keindahan dan hijaunya hamparan teh walaupun di tempat berbeda. Sekarang ini perkebunan teh yang tersisa hanya di Kebun Sidamanik, Toba Sari dan Bah Butong saja. Sedangkan Kasinder, Bah Birong Ulu, Bahlimbingan dan Marjandi yang dahulunya tergabung dalam PTP VIII telah dikonversi menjadi tanaman kelapa sawit.
MENIKMATI INDAHNYA HAMPARAN TEH
Sebenarnya perjalanan kami terlebih dahulu ke Tigaras melalui desa Simpang Raya ( nanti akan aku ceritakan tentang TIGARAS ). Perjalanan pulang kami melalui jalan Sidamanik untuk menuju ke Kota P. Siantar. Hanya sangat disayangkan mendung gelap dan cuaca hujan sehingga pemandangan yang kami dapatkan kelabu dan muram. Kawasan Simalungun umumnya memang curah hujan sangat tinggi. Aku masih merasakan saat - saat itu dimana hampir selalu menikmati rinai hujan.
jalan raya Sidamnik - Tigaras Garoga |
selepas hujan di Bah Butong |
nostalgia masa kecil yang coba diceritakan |
Semenjak dari Tigaras kami sudah disambut dengan hujan. Dan rinai hujan terus menemani perjalanan kami saat kami istirahat dan sholat di Kebun Toba Sari. Kebun ini kembali meningatkan kenanganku akan tempatku dilahirkan. Rumah - rumah yang sama persis dan harumnya aroma teh tercium oleh indra penciumanku. Aku masih ingat akan aroma itu dan aku merindukan rasa itu.
Hujan masih menemani kami, suasana perkebunan yang hening dan dinginnya air aku rasakan. Rasa beberapa puluhan tahun yang lalu masih menempel dan melekat kuat dalam ingatanku.
Kami berteduh di mesjid di Kebun Toba Sari untuk beberapa lama dan melanjutkan mengitari perkebunan teh Bah Butong, Sidamanik. Rintik hujan masih setia menemani perjalanan kami sampai kami menuju ke kota P. Siantar. Dan kenangan akan perkebunan teh masih membayang dan menemani hingga saat ini, entah untuk esok dan nantinya.
BAGAIMANA MENUJU KE SIDAMANIK ?
Sidamanik adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Simalungun. Cara menuju ke daerah ini dengan angkutan umum jika kita dari Medan adalah kita menuju ke Terminal Amplas dan naik bus jurusan P. Siantar. Setelah sampai di kota P. Siantar kita menuju Pusat Pasar Horas untuk melanjutkan perjalanan ke Sidamanik atau dari Terminal Parluasan mungkin masih ada angkutan ke Sidaminik ( kurang yakin ).
Nah dari Pusat Pasar Horas biasanya ada bus atau masyarakat setempat menyebutnya mopen ( biasanya Mopen GOK, salah satu nama armada bus ) yang akan mengantarkan kita ke Sidamanik. Dan lebih kurang 45 menit sampailah kita ke perkebunan teh Sidamanik.
Tarifnya dari Medan - P. Siantar ( banyak armada bus dari Medan ke Siantar, tinggal memilih saja ) berkisar antara Rp. 25.000,- - Rp. 30.000,- ( dua puluh lima ribu - tiga puluh ribu rupiah ).
Selanjutnya dari Parluasan - Pusat Pasar Horas Rp. 3.000,- s/d Rp. 4.000,- dan dari Pusat Pasar Horas - Sidamanik Rp. 5.000,-
Di Kebun Bah Butong ada destinasi wisata air terjun Bah Biak dan ini dari jalan besar Sidamanik - Tigaras sekitar 1 km - 2 km berada di antara perumahan Karyawan Kebun Bah Butong.
Untuk yang membawa kendaraan sendiri anda dari Medan menuju ke P. Siantar, setelah tiba di kota P. Siantar lanjut ke jalan menuju ke Parapat. Nanti ada persimpangan dan penunjuk jalan belok ke sebelah kanan ada penunjuk jalan dan pamflet Sidamanik. Silahkan menuju ke Simpang Sidamnik dan lanjutkan perjalanan. Dari Sidamanik perjalanan dapat dilanjutkan menuju ke Tigaras dan Simarjarunjung juga ke Parapat.
Berminat mengunjungi Sidamanik, Toba sari dan Bah Butong? Silahkan mencoba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar